Sunday, 29 July 2018

Sistem Zonasi Sekolah: Pengamalan Sila Ke-5?

| | 1 comments
Beberapa waktu ini, salah satu isu yang hangat di masyarakat adalah tentang penerapan peraturan zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Banyak pro kontra menanggapi kebijakan baru Permendikbud No. 14 Tahun 2018 yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ini.

Anak pintar itu penting di semua sekolah, di samping bisa mengembangkan diri lebih leluasa juga mengatrol teman-temannya yang masih tertinggal secara akademik. Bagus sekali dalam membangun rasa kesetiakawanan, - Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumber: Detik.com

Menurut saya, kebijakan ini merupakan salah satu pengamalan sila ke-5 yaitu "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Demikian pula yang dikatakan oleh Bapak Muhadjir, bahwa peraturan zonasi diadakan untuk mengurangi stigma sekolah favorit dan non-favorit. Saya sepakat dengan pernyataan ini. Di Kota Semarang, pada saat saya masih sekolah SMP dan SMA dulu, banyak sekali murid yang rumahnya di pinggiran kota berbondong-bondong untuk bersekolah di tengah kota. Hal ini juga tentunya karena kawasan-kawasan permukiman di Kota Semarang menyebar tak beraturan baik ke Barat (Mangkang, Ngaliyan, Mijen dan sekitarnya), Timur (Tlogosari, Pedurungan, Plamongan dan sekitarnya), Utara (Tanah Mas dan sekitarnya) maupun Selatan (Gunungpati, Tembalang & Banyumanik). Sekolah-sekolah di pusat kota, sebut saja seperti SMP 2, SMP 3, SMP 5, SMA 1, SMA 3 dan SMA 5 Semarang menjadi incaran banyak murid dan orang tua murid.

Padahal, dari beberapa sekolah "favorit" yang saya sebut diatas, tidak ada satupun diantaranya yang lingkungan sekitarnya adalah permukiman, terutama permukiman baru yang dihuni keluarga dengan anak usia sekolah. Dominasi penggunaan lahan di kawasan sekitar sekolah tersebut sudah menjadi perdagangan dan jasa. Kebijakan baru ini tentu masih memiliki banyak kekurangan lain. Kekurangan pertama tentu dari segi persebaran fasilitas pendidikan. Hal ini saya rasa lumrah terjadi di Indonesia. Sebagai seseorang yang belajar di sekolah perencanaan, saya beberapa kali melakukan analisis tentang jangkauan pelayanan sarana dan prasarana, termasuk sarana pendidikan. Dari beberapa wilayah yang pernah menjadi studi kasus, sebagian besar daerah hanya tercover oleh sarana pendidikan dasar atau SD. Masih banyak daerah yang belum masuk dalam jangkauan pelayanan SMP dan SMA.

Berikut beberapa hasil tugas saya dan teman-teman yang terkait dengan jangkauan pelayanan sarana pendidikan. Peta yang saya bagikan adalah hasil tugas Studio Perencanaan di 4 kecamatan di Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan Tengaran, Susukan, Suruh dan Kaliwungu. Kelompok kami biasa menyebutnya sebagai wilayah Tengaran Raya.




Peta tersebut adalah gambaran tentang pelayanan SD. Sebagian besar memang sudah terlayani dan tercukupi. Seperti yang dikatakan di awal bahwa rata-rata wilayah hanya terjangkau oleh sarana SD saja.







Untuk pelayanan SMP, bisa dilihat pada peta mulai bermunculan warna merah yang pada legenda berarti pelayanan tidak mencukupi/kurang.






Kami juga membagikan kuesioner terkait preferensi pemilihan sekolah. Lebih dari 50% warga di Kab. Semarang bahkan memilih untuk sekolah di Kota Salatiga atau Kab. Boyolali daripada di wilayahnya sendiri. Saya rasa ini yang terjadi selama ini di daerah di Indonesia. Stigma sekolah favorit dan non-favorit.





Sedangkan hasil untuk SMA, 75% Wilayah Tengaran Raya belum dapat memenuhi standar pelayanan sarana pendidikan SMA.










Sama seperti SMP, preferensi masyarakat memilih sekolah SMA cenderung keluar daerah daripada di dalam wilayahnya sendiri.





Hasil diatas hanya sebagian kecil dari kondisi persebaran fasilitas pendidikan di Indonesia. Saya rasa wilayah-wilayah lain termasuk perkotaan juga masih mengalami ketimpangan ini. Sebut saja di Kota Semarang, kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam daerah pinggiran seperti Ngaliyan, Mijen Gunungpati tidak memiliki sekolah sebanyak kecamatan yang lokasinya berada lebih ke pusat kota.
Tantangan 1 sistem zonasi: pemerataan persebaran fasilitas pendidikan.

Sebenarnya Indonesia pun sudah punya standar tentang sarana pendidikan, seperti di bawah ini:

SNI 03-1733-2004
Menurut SNI, radius pencapaian SMA sebagai sekolah tingkat paling tinggi saja hanya 3.000 m atau sekitar 3 km. Dulu, sekolah SMP saya jaraknya 15 km dan sekolah SMA saya jaraknya 10 km. Tentu saja, untuk mengejar si sekolah favorit tadi.

Hal baik lain tentang kebijakan zonasi jika diterapkan secara tepat: Mengurangi kemacetan!
Bayangkan saja di SMA 1, 3, 5 ataupun SMP 2, 3, 5 muridnya berasal dari seluruh penjuru Kota Semarang. Saya, waktu SMP menempuh 15 km dan waktu SMA menempuh 10 km. Memang sih, sekolah-sekolah favorit di tengah kota tersebut dilewati oleh transportasi umum. Apalagi sekarang melihat Kota Semarang rute BRT nya sudah semakin banyak, jadi anak sekolah bisa terakomodir meskipun dari pinggiran bersekolah ke pusat kota. Tetapi, bayangkan kalau zonasi ini berjalan dengan baik, pergerakan sehari-hari masyarakat (khususnya anak sekolah) tidak akan lebih dari radius 5 km. Dan saya rasa efek baiknya banyak:

  • Menghemat cost (terutama untuk transportasi)
  • Mengurangi pergerakan (yang berarti mengurangi jumlah kendaraan di jalan, yang berarti mengurangi kemacetan)
  • Mengurangi kendaraan di jalan, berarti mengurangi polusi
  • Mengurangi polusi berarti menyehatkan masyarakat
  • Menyehatkan masyarakat dan mengurangi kemacetan berarti,
  • Membahagiakan masyarakat!
Ini efek domino atau bahasa kerennya, multiplier effect yang bisa saja terjadi dari kebijakan ini. Sungguh, menurut saya kebijakan zonasi ini tidak hanya menguntungkan dari sisi pemerataan akademis siswa saja tapi juga untuk urusan perkotaan hehehe :)

Tantangan 2: Kecurangan
Merubah mindset masyarakat dan Menghapus Stigma Sekolah Favorit

Saya rasa tantangan kedua ini juga menarik. Terutama menghapuskan mindset masyarakat tentang harus bersekolah di sekolah favorit atau sekolah di pusat kota. Ini saya rasa akan sulit terutama kalau masyarakat belum paham betul apa tujuan dari kebijakan ini.

Efek dari sistem zonasi yang juga sudah ramai dibicarakan adalah tentang penggunaan Surat Keterangan Miskin dan Sertifikat atau Piagam Lomba palsu. PR berikutnya dari Pemerintah adalah untuk evaluasi sistem poin ini. Apalagi, tidak ada batasan kuota untuk murid yang menggunakan SKM. 

Bukan bukan, bukannya saya tidak setuju memudahkan siswa miskin, tapi mungkin perlu diperketat. Ditambah kuota, dengan kriteria nilai juga lebih baik. Hal memprihatinkan lain dari SKM ini adalah bahwa tidak ada batasan nilai. Saya rasa itu kurang fair, karena meskipun miskin ada baiknya ada ketetapan nilai standar yang ditentukan jadi siswa akan bersungguh-sungguh dalam belajar. Contoh nyatanya, ada calon siswa dengan nilai rata-rata 8 tidak diterima. Kalah dengan calon siswa miskin yang rata-ratanya 3. Fair enough?

Selain itu juga memperketat penggunaan SKM ini. Banyak yang jelas-jelas tidak miskin tapi meminta SKM hanya untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah yang dianggap favorit. Waktu saya masuk universitas dan meminta keringanan UKT, ada petugas yang  mensurvey apakah benar calon mahasiswa tersebut perlu menerima keringanan UKT atau tidak. Saya rasa survey lapangan ini sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi kecurangan penggunaan surat miskin.


Berbagai upaya dilakukan oleh para orang tua murid agar anak-anaknya tetap dapat bersekolah di sekolah favorit. Hal lain yang banyak dilakukan selain menggunakan SKM (padahal jelas-jelas tidak miskin), piagam lomba palsu untuk menambah poin adalah, mengganti Kartu Keluarga. 
Banyak anak yang dipindah KK oleh orang tuanya ke tempat saudara atau kerabat yang rumahnya lebih dekat dengan lokasi sekolah favorit.


Siasat-siasat tersebut saya rasa berhubungan kuat dengan stigma masyarakat bahwa anaknya harus menjadi murid di sekolah favorit di kotanya. Ada semacam "ketidakpercayaan" dengan sekolah yang berada dekat dengan rumahnya sendiri.

Di tahun-tahun lalu, hal ini mungkin ada benarnya. Semua calon murid dengan kualitas baik berlomba-lomba ke sekolah favorit di pusat kota, sedangkan murid yang "biasa saja" akan menerima saja sekolah di dekat rumahnya. Tentu ini menjadi ketimpangan akademis dan menjadikan sekolah-sekolah di pinggiran kekurangan murid dengan kualitas baik. Nah, tujuan dari kebijakan ini diharapkan menghindari fenomena seperti itu. Semua sekolah harapannya semakin lama akan memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda. Saya hanya berdoa semoga para orang tua semakin paham dengan konsep keadilan sosial ini. Tentu dalam praktiknya tidak bisa langsung mencapai keadilan itu.

Mungkin kebijakan ini juga dapat merugikan oknum-oknum tertentu yang sering terlibat "jalur belakang" untuk memasukkan murid ke sekolah favorit. Sehingga pasti akan tetap banyak yang kontra :)

Jujur, sebagai salah satu alumni sekolah di pusat kota, saya akan merasa sedikit "wah SMP dan SMA saya nanti mungkin nggak akan sebagus waktu saya sekolah dulu" karena anak-anak baiknya sudah lebih terdistribusi ke sekolah lain. Perasaan superior karena telah menjadi murid atau alumni SMP x atau SMA x lama-lama akan pudar mungkin (?) hehehe. Tapi ini tentu untuk kebaikan bersama :)
Kembali lagi ke dasar negara kita, di Sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.


Semoga masyarakat semakin mengerti bahwa pendidikan yang setara adalah hak setiap murid dimanapun ia tinggal. Meskipun ini juga tidak bisa terjadi dalam waktu yang cepat. Untuk itu, saya menulis ini, harapannya ingin memberi sedikit gambaran tentang kondisi sekolah dan pendidikan di negeri kita. Saya ingin membantu menghilangkan stigma sekolah favorit yang selama ini terlalu dominan. Yang tidak jarang membuat calon murid juga tertekan karena merasa bersekolah di tempat yang dianggap buruk. Harapannya, tidak ada lagi fenomena dominasi yang terlalu besar untuk sekolah-sekolah negeri di Indonesia.

Tentunya Pemerintah juga harus bekerja lebih keras untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih baik bagi masyarakat. Sistem Zonasi perlu ditingkatkan dengan melakukan penyebaran sarana pendidikan secara lebih merata. Tidak hanya sarananya namun juga prasarananya, pengajar yang berkompeten di setiap sekolah, dukungan yang sama untuk tiap sekolah baik secara materiil maupun imateriil.

Ada harga yang perlu dibayar untuk mensejahterakan masyarakat dengan lebih merata. Kembali ke dasar negara kita Sila ke-5.

1 comments:

 
Twitter Facebook Tumblr Last FM Flickr